KERJAAN SKALA BRAK: LELUHUR ORANG LAMPUNG?

Share:
Sekala Brak (Baca: Sekala Bekhak) adalah sebuah kerajaan yang bercirikan Hindu dan dikenal dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu. Diriwayatkan setelah kedatangan Empat Umpu dari Pagaruyung yang menyebarkan agama Islam, Kerajaan Skala Brak Hindu kemudian berubah menjadi Kepaksian Sekala Brak, terletak di kaki Gunung Pesagi (gunung tertinggi di Lampung).
Kerajaan SKALA BRAK
Add caption

Skala Brak, yang dipercaya oleh sebagian masyarakat Lampung sebagai salah satu tempat asal mula bangsa Lampung, yaitu sebuah Kerajaan yang letaknya di dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau yang secara administratif kini berada di Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran Sekala Brak inilah sebagian leluhur bangsa Lampung menyebar ke setiap penjuru dengan mengikuti aliran Way atau sungai-sungai yaitu way komering, way kanan, way semangka, way seputih, way sekampung dan way tulang bawang beserta anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten.

Sekala Brak memiliki makna yang dalam dan sangat penting bagi bangsa Lampung. Bukti tentang kemasyuran kerajaan Sekala Brak didapat dari cerita turun temurun yang disebut warahan, warisan kebudayaan, adat istiadat, keahlian serta benda dan situs seperti tambo dan dalung seperti yang terdapat di Kenali, Batu Brak dan Sukau.

Ada beberapa teori tentang etimologi Sekala Brak, yaitu:

Sakala Bhra yang berarti titisan dewa (terkait dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu)
Segara Brak yang berarti genangan air yang luas (diketahui sebagai Danau Ranau)
Sekala Brak yang berarti tumbuhan sekala dalam jumlah yang banyak dan luas (tumbuhan ini banyak terdapat di Pesagi dan dataran tingginya)
Dalam buku Zawawi Kamil (Menggali Babad & Sedjarah Lampung) disebutkan dalam sajak dialek Komering/Minanga: 

'"Adat lembaga sai ti pakaisa buasal jak Belasa Kapampang, Sajaman rik tanoh pagaruyung pemerintah bunda kandung, Cakak di Gunung Pesagi rogoh di Sekala Berak, Sangon kok turun temurun jak ninik puyang paija, Cambai urai ti usung dilom adat pusako"

Terjemahannya berarti

"Adat Lembaga yang digunakan ini berasal dari Belasa Kepampang (Nangka Bercabang), Sezaman dengan ranah pagaruyung pemerintah bundo kandung, Naik di Gunung Pesagi turun di Sekala Berak, Memang sudah turun temurun dari nenek moyang dahulu, Sirih pinang dibawa di dalam adat pusaka, Kalau tidak pandai tata tertib tanda tidak berbangsa".

Dalam catatan Kitab Tiongkok kuno yang disalin oleh Groenevelt kedalam bahasa Inggris bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi disebutkan kisah sebuah Kerajaan Kendali yang terletak di antara pulau Jawa dan Kamboja. Prof. Wang Gungwu [1] dengan lebih spesifik menyebutkan bahwa pada tahun tahun 441, 455, 502, 518, 520, 560 dan 563 yang mulia Sapanalanlinda dari Negeri Kendali mengirimkan utusannya ke Negeri Cina.

Menurut Zawawi Kamil (Menggali Babad & Sedjarah Lampung) disebutkan dalam sajak dialek Komering/Minanga: "Adat lembaga sai ti pakaisa buasal jak Belasa Kapampang, Sajaman rik tanoh Pagaruyung pemerintah Bundo Kandung, Cakak di Gunung Pesagi rogoh di Sekala Berak, Sangon kok turun temurun jak ninik puyang paija, Cambai urai ti usung dilom adat pusako" Terjemahannya berarti "Adat Lembaga yang digunakan ini berasal dari Belasa Kepampang (Nangka Bercabang), Sezaman dengan ranah Pagaruyung pemerintah Bundo Kandung (pada abad 15), Naik di Gunung Pesagi turun di Sekala Berak, Memang sudah turun temurun dari nenek moyang dahulu, Sirih pinang dibawa di dalam adat pusaka, Kalau tidak pandai tata tertib tanda tidak berbangsa".

Menurut dongeng, Kerajaan Sekala Brak ini dihuni oleh Buay Tumi dengan Ibu Negeri Kenali dan Agama resminya adalah Hindu Bairawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya Batu Kepampang di Kenali yang fungsinya adalah sebagai alat untuk mengeksekusi Pemuda dan Pemudi yang tampan dan cantik sebagai tumbal dan persembahan untuk para Dewa.

Di lereng gunung Pesagi,dapat ditemukan berbagai peninggalan lain,seperti bebatuan yang tersebar di gunung Pesagi,tapak bekas kaki,altar/tempat eksekusi muda-mudi. Kerajaan Sekala Brak menjalin kerjasama perdagangan antar pulau dengan Kerajaan Kerajaan lain di Nusantara dan bahkan dengan India dan Negeri Cina. Prof. Olivier W. Wolters dari Universitas Cornell, dalam bukunya Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, hal. 160, mengatakan bahwa ada dua kerajaan di Asia Tenggara yang mengembangkan perdagangan dengan Cina pada abad 5 dan 6 yaitu Kendali di Andalas dan Ho-lo-tan di Jawa. Dalam catatan Dinasti Liang (502-556) disebutkan tentang letak Kerajaan Sekala Brak yang ada di Selatan Andalas dan menghadap kearah Samudra India, Adat Istiadatnya sama dengan Bangsa Kamboja dan Siam, Negeri ini menghasilkan pakaian yang berbunga, kapas, pinang, kapur barus dan damar.

Dari Prasasti Hujung Langit (Hara Kuning) bertarikh 9 Margasira 919 Caka yang di temukan di Bunuk Tenuar Liwa terpahat nama raja di daerah Lampung yang pertama kali ditemukan pada prasasti. Prasasti ini terkait dengan Kerajaan Sekala Brak kuno yang masih dikuasai oleh Buay Tumi.

Diketahui nama Raja yang mengeluarkan prasasti ini tercantum pada baris ke-7, menurut pembacaan Prof. Damais namanya adalah Baginda Sri Haridewa. Lebih jauh lagi Sekala Brak Hindu adalah juga merupakan cikal bakal Sriwijaya, di mana saat persebaran awal dimulai dari dataran tinggi Pesagi dan Danau Ranau satu kelompok menuju keselatan menyusuri dataran Lampung dan kelompok yang lain menuju kearah utara menuju dataran Palembang.

Bahkan seorang keturunan dari Sekala Brak Hindu adalah merupakan Pendiri dari Dinasti Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga yang memulai Dinasti Sriwijaya awal dengan ibu negeri Minanga Komering.

Berdasarkan Warahan dan Sejarah yang disusun di dalam Tambo, dataran Sekala Brak yang pada awalnya dihuni oleh suku bangsa Tumi ini mengagungkan sebuah pohon yang bernama Belasa Kepampang atau nangka bercabang karena pohonnya memiliki dua cabang besar, yang satunya nangka dan satunya lagi adalah sebukau yaitu sejenis kayu yang bergetah. Keistimewaan Belasa Kepampang ini bila terkena cabang kayu sebukau akan dapat menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya, namun jika terkena getah cabang nangka penyakit tersebut dapat disembuhkan. Karena keanehan inilah maka Belasa Kepampang ini diagungkan oleh suku bangsa Tumi.

Diriwayatkan di dalam Tambo bahwa para Pendiri Paksi Pak Sekala Brak adalah berasal dari Pagaruyung. Sebagaimana Mataram, Kutai dan Pagaruyung, Sekala Brak mengalami dua era yaitu era Keratuan Hindu Budha dan era Kesultanan Islam. Diriwayatkan di dalam Tambo bahwa empat orang Putera Raja Pagaruyung Maulana Umpu Ngegalang Paksi tiba di Sekala Brak untuk menyebarkan agama Islam. Fase ini merupakan bagian terpenting dari eksistensi masyarakat Lampung. Dengan kedatangan Keempat Umpu ini maka merupakan kemunduran dari Kerajaan Sekala Brak Kuno atau Buay Tumi yang merupakan penganut Hindu Bairawa/Animisme dan sekaligus merupakan tonggak berdirinya Kepaksian Sekala Brak atau Paksi Pak Sekala Brak yang berasaskan Islam. Keempat Putera Maulana Umpu Ngegalang Paksi masing masing adalah:
  1. Umpu Bejalan Di Way Dia adalah Pendiri Paksi Buay Bejalan Diway memerintah dan dimakamkan di Puncak, Sukarami Liwa
  2. Umpu Belunguh Dia adalah Pendiri Paksi Buay Belunguh memerintah di Barnasi, Belalau
  3. Umpu Nyerupa. Dia adalah Pendiri Paksi Buay Nyerupa memerintah di Tampak Siring, Sukau
  4. Umpu Pernong. Dia adalah Pendiri Paksi Buay Pernong memerintah di Henibung, Batu Brak

Umpu berasal dari kata Ampu seperti yang tertulis pada batu tulis di Pagaruyung yang bertarikh 1358 A.D. Ampu Tuan adalah sebutan Bagi anak Raja Raja Pagaruyung Minangkabau. Setibanya di Sekala Brak keempat Umpu bertemu dengan seorang Muli yang ikut menyertai para Umpu dia adalah Si Bulan. Di Sekala Brak keempat Umpu tersebut mendirikan suatu perserikatan yang dinamai Paksi Pak yang berarti Empat Serangkai atau Empat Sepakat.

Kedatangan para Umpu Pendiri Paksi ini tidaklah bersamaan, berdasarkan penelitian terakhir diketahui bahwa menyebarnya Agama Islam dan pembaharuan Adat dilakukan setelah kedatangan Umpu Belunguh ke Sekala Brak yang memerangi Sekerumong dan akhirnya dimenangkan oleh perserikatan Paksi Pak sehingga dimulailah era Kesultanan Islam di Sekala Brak. Sedangkan penduduk yang belum memeluk agama Islam melarikan diri ke Pesisir Krui dan terus menyeberang ke pulau Jawa dan sebagian lagi ke daerah Palembang. Raja terakhir dari Buway Tumi Sekala Brak adalah Kekuk Suik sebagai anak laki-laki dari Ratu Sekeghumong dengan wilayah kekuasaannya yang terakhir di Pesisir Selatan Krui -Tanjung Cina.

Dataran Sekala Brak akhirnya dikuasai oleh keempat Paksi yang disertai Si Bulan, Maka Sekala Brak kemudian diperintah oleh keempat Paksi dengan menggunakan nama Paksi Pak Sekala Brak. Inilah cikal bakal Kepaksian Sekala Brak yang merupakan puyang bangsa Lampung. Kepaksian Sekala Brak mereka bagi menjadi empat Marga atau Kebuwayan yaitu:


  1. Umpu Bejalan Di Way memerintah daerah Kembahang dan Balik Bukit dengan Ibu Negeri Puncak, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Bejalan Di Way.
  2. Umpu Belunguh memerintah daerah Belalau dengan Ibu Negerinya Kenali, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Belunguh.
  3. Umpu Nyerupa memerintah daerah Sukau dengan Ibu Negeri Tapak Siring, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Nyerupa.
  4. Umpu Pernong memerintah daerah Batu Brak dengan Ibu Negeri Henibung, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Pernong

Sedangkan Si Bulan mendapatkan daerah Cenggiring namun kemudian Si Bulan berangkat dari Sekala Brak menuju ke arah matahari hidup. Dan daerah pembagiannya digabungkan ke daerah Paksi Buay Pernong karena letaknya yang berdekatan.

Suku bangsa Tumi yang lari kedaerah Pesisir Krui menempati marga marga Punggawa Lima yaitu Marga Pidada, Marga Bandar, Marga Laai dan Marga Way Sindi namun kemudian dapat ditaklukkan oleh Lemia Ralang Pantang yang datang dari daerah Danau Ranau dengan bantuan lima orang punggawa dari Paksi Pak Sekala Brak. Dari kelima orang punggawa inilah nama daerah ini disebut dengan Punggawa Lima karena kelima punggawa ini hidup menetap pada daerah yang telah ditaklukkannya.

Agar syiar agama Islam tidak mendapatkan hambatan maka pohon Belasa Kepampang itu akhirnya ditebang untuk kemudian dibuat PEPADUN. Pepadun adalah singgasana yang hanya dapat digunakan atau diduduki pada saat penobatan SAIBATIN Raja Raja dari Paksi Pak Sekala Brak serta keturunan keturunannya. Dengan ditebangnya pohon Belasa Kepampang ini merupakan pertanda jatuhnya kekuasaan suku bangsa Tumi sekaligus hilangnya paham animisme di kerajaan Sekala Brak. Sekitar awal abad ke 9 Masehi para Saibatin di Sekala Brak menciptakan aksara dan angka tersendiri sebagai Aksara Lampung yang dikenal dengan Had Lampung.

Ada dua makna di dalam mengartikan kata Pepadun, yaitu:

  1. Dimaknakan sebagai PAPADUN yang maksudnya untuk memadukan pengesahan atau pengakuan untuk mentahbiskan bahwa yang duduk di atasnya adalah Raja.
  2. Dimaknakan sebagai PAADUAN yang berarti tempat mengadukan suatu hal ihwal. Maka jelaslah bahwa mereka yang duduk di atasnya adalah tempat orang mengadukan suatu hal atau yang berhak memberikan keputusan.

Ini jelas bahwa fungsi Pepadun hanya diperuntukkan bagi Raja Raja yang memerintah di Sekala Brak. Atas mufakat dari keempat Paksi maka Pepadun tersebut dipercayakan kepada seseorang yang bernama Benyata untuk menyimpan, serta ditunjuk sebagai bendahara Pekon Luas, Paksi Buay Belunguh dan kepadanya diberikan gelar Raja secara turun temurun.

Manakala salah seorang dari keempat Umpu dan keturunannya memerlukan Pepadun tersebut untuk menobatkan salah satu keturunannya maka Pepadun itu dapat diambil atau dipinjam yang setelah digunakan harus dikembalikan. Adanya bendahara yang dipercayakan kepada Benyata semata mata untuk menghindari perebutan atau perselisihan di antara keturunan keturunan Paksi Pak Sekala Brak dikemudian hari.

Pada Tahun 1939 terjadi perselisihan di antara keturunan Benyata memperebutkan keturunan yang tertua atau yang berhak menyimpan Pepadun. Maka atas keputusan kerapatan adat dengan persetujuan Paksi Pak Sekala Brak dan Keresidenan, Pepadun tersebut disimpan dirumah keturunan yang lurus dari Umpu Belunguh hingga sekarang.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya semua suku bangsa Lampung, baik yang berada di daerah Lampung, Palembang, dan Pantai Banten berpengakuan berasal dari Sekala Brak. Perpindahan Warga Negeri Sekala Brak ini bukannya sekaligus melainkan bertahap dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh beberapa peristiwa penting di dalam sejarah seperti:


  1. Ketika suku bangsa Tumi yang mendiami Sekala Brak terusir dan Skala Brak jatuh ketangan Paksi Pak Sekala Brak, hingga mereka menyebar kedaerah lain.
  2. Perselisihan dan silang sengketa dikalangan keluarga yang mengakibatkan satu fihak meninggalkan Sekala Brak untuk mencari penghidupan ditempat lain.
  3. Adanya bencana alam berupa gempa bumi yang memaksa sebagian Warga Negeri Sekala Brak untuk berpindah dan mencari penghidupan yang baru.
  4. Adanya hubungan yang erat antara Kesultanan Banten dan Kebuayan Belunguh -Kenali, di mana dengan sengaja ditinggalkan disepanjang jalan beberapa orang suami istri untuk meluaskan daerah dan memudahkan perjalanan pulang pergi ke Banten. Sehingga berabad kemudian ditempat itu berdiri Pekon Pekon bahkan banyak yang sudah menjadi Marga. Hubungan inilah yang merupakan asal dari Cikoneng Pak Pekon di Pantai Banten.
  5. Perpindahan juga terjadi disebabkan peraturan adat yang mengikat yang menetapkan semua hak hak adat jatuh atau diwarisi oleh Putera Tertua, sehingga anak anak yang muda dipastikan tidak sepenuhnya memiliki hak apalagi kedudukan tertentu di dalam adat. Dengan cara memilih untuk pindah kedaerah yang baru maka dapat dipastikan mereka memiliki kedudukan dan tingkatan di dalam adat yang mereka bentuk sendiri ditempat yang baru.

Perpindahan penduduk dari Sekala Brak ini sebagian mengikuti aliran Way Komring yang dikepalai oleh Pangeran Tongkok Podang, untuk seterusnya beranak pinak dan mendirikan Pekon atau Negeri. Kesatuan dari Pekon Pekon ini kemudian menjadi Marga Atau Buay yang diperintah oleh seorang Raja atau Saibatin di daerah Komring –Palembang. Sebagian kelompok lagi pergi kearah Muara Dua, kemudian menuju keselatan menyusuri aliran Way Umpu hingga sampai di Bumi Agung. Kelompok ini terus berkembang dan kemudian dikenal dengan Lampung Daya atau Lampung Komring yang menempati daerah Marta Pura dan Muara Dua di Komring Ulu, serta daerah Kayu Agung dan Tanjung Raja atau Komring Ilir.

Kelompok yang lain yang dipimpin oleh Puyang Rakian dan Puyang Nayan Sakti menuju ke Pesisir Krui dan menempati Pesisir Krui mulai dari Bandar Agung di selatan pesisir hingga Pugung Tampak dan Pulau Pisang di utara. Kelompok yang dipimpin oleh Puyang Naga Berisang dan Ratu Piekulun Siba menyusuri Way Kanan menuju ke Pakuan Ratu, Blambangan Umpu dan Sungkai Bunga Mayang di barat laut Lampung untuk meneruskan jurai dan keturunannya hingga meliputi sebagian utara dataran Lampung. Adipati Raja Ngandum memimpin kelompok yang menuju ke Pesisir Selatan Lampung Mengikuti aliran Way Semangka hingga kehilirnnya di Kubang Brak. Dari Kubang Brak sebagian rombongan ini terus menuju kearah Kota Agung, Talang Padang, Way Lima hingga ke selatan Lampung di Teluk Betung, Kalianda dan Labuhan Maringgai. Daerah Pantai Banten yang merupakan daerah Cikoneng Pak Pekon adalah wilayah yang diberikan sebagai hadiah kepada Umpu Junjungan Sakti dari Kenali -Buay Belunguh setelah menumpas kerusuhan yang diakibatkan oleh Si Buyuh.

Sebagian lagi yang dikepalai oleh Menang Pemuka yang bergelar Ratu Di Puncak menyusuri sepanjang Way Rarem, Way Tulang Bawang dan Way Sekampung. Menang Pemuka atau Ratu Di Puncak memiliki tiga orang istri, istri yang pertama. berputera Nunyai, dari istri kedua memiliki dua orang anak yaitu seorang putera yang diberi nama Unyi dan seorang puteri yang bernama Nuban, sedangkan dari istri ketiga yang berasal dari Minangkabau memiliki seorang putera yang bernama Bettan Subing. Jurai Ratu Di Puncak inilah yang menurunkan orang Abung. Sedangkan Tulang Bawang adalah keturunan dari Indarwati yang Bergelar Putri Si Buay Bulan yang pada awalnya bertahta di Cenggiring Sekala Brak.

Oleh beberapa pengamat sejarah asal Lampung Barat, Sekala Brak sering dianggap sebagai tempat asal bangsa Lampung. Hal ini dibantah oleh banyak pihak mengingat kisah tersebut hanya berdasar dongeng tanpa bukti-bukti yang kuat. Teori bahwa Kepaksian Sekala Brak sebagai asal usul suku Lampung digembar-gemborkan oleh orang-orang Lampung Barat terutama yang memiliki kedekatan khusus dengan Kepaksian tersebut.

Pendukung Edward Syah Pernong, yang diakui oleh para pendukungnya sebagai Sultan, diduga berusaha melegitimasi teori Sekala Brak dengan cara membuat buku yang lebih mirip Company Profile, lalu disebar luaskan ke berbagai media termasuk media online seperti Wikipedia dan Blog. Kekeliruan (baik disengaja ataupun tidak) ini telah menimbulkan kesalahpahaman di mata masyarakat.

sumber

No comments